CRITIQUE OF PURE REASON
Tujuan Kant menulis bukunya ini adalah untuk mengetahui apakah penalaran murni
memiliki batas, dan apakah dia bisa digunakan untuk mencapa pengetahuan yang
paling murni – dasar, tanpa menggunakan indra perasa atau dipengaruhi oleh
objek yang ditelitinya. Pertanyaan epistemologinya adalah apakah kita sudah
mengetahui bahwa sesuatu itu ada karena pengetahuan itu memang sudah ada dan
diberikan kepada kita atau melalui pengalaman. Sebagai seorang penganut paham
metafisika, dia mau memberikan argumennya bahwa kita bisa mengetahui pengetahuan
berdasarkan penalaran murni ini.
Bagian Pendahuluan
Kant memberi pendahuluan dengan pernyataan
bahwa pengetahuan dimulai dari pengalaman, namun tidak berarti bahwa semua
pengetahuan berasal dari pengalaman. Pertanyaan Kant adalah apakah ada pengetahuan yang bebas
dari pengalaman indra manusia (1). Menurutnya, a priori adalah “is absolutely so of all experience, pure
knowledge.” Sedangkan a posteriori berasal dari pengamatan dan pengalaman, dan
berasal dari metode induksi. Kebenaran a priori dibagi dua, yaitu judgment a
priori, yaitu sebuah kebenaran apabila kita memiliki sebuah proposisi yang
mengandung ide kepentingan dalam konsepsinya; sementara itu absolut a priori
adalah kebenaran yang tidak datang dari proposisi apapun.
Kant berusaha membela pendapatnya
ini dari Hume, yang memang beranggapan bahwa semua pengetahuan berasal dari a
posteriori. Argument Kant adalah bahwa ada pengetahuan yang memang sudah ada a
priori tanpa kita perlu mengamati untuk mengetahui bahwa pengetahuan itu adalah
benar.
Pertanyaan selanjutnya adalah,
Bagaimana pengetahuan kita bisa sampai kepada pengertian a priori ini, dan
sejauh apa kebenaran yang dimilikinya (5)? Kant menganggap bahwa pengetahuan a
posteriori adalah keinginan manusia untuk merasa nyaman dalam pengetahuan yang
mereka bisa selidiki dan pahami. Manusia takut untuk bertanya dan menjawab
kontradiksi yang tidak bisa mereka buktikan secara empiris. Menggunakan teori
gua Plato, Kant mengungkapkan bahwa pengetahuan sesungguhnya berada di luar
indra perasa manusia yang terbatas. Semua pengetahuan kita sebenarnya sudah ada
tanpa harus melalui pengalaman, justru pengamatan hanya akan mendistorsi atau
menguatkan pengetahuan yang sudah kita miliki sebelumnya (6).
Kant kemudian
membedakan antara penilaian analitis dan sintetis. Penilaian analitis adalah
mereka yang predikat dan subjeknya dihubungkan oleh identitas misalnya “semua
tubuh itu berat”; sementara ketika predikat dan subjek dihubungkan tanpa
identitas dia disebut sebagai penilaian sintetis, misalnya “semua tubuh akan
bertumbuh”. Penilaian sintetis
bisa diperoleh tanpa pengamatan dan sudah ada secara a priori.
Dengan pemahaman ini, Kant
lebih jauh berargumen bahwa dalam semua ilmu sains, pengetahuan a priori adalah
prinsip dasar dalam menentukan langkah selanjutnya. Dia menunjukkannya dalam
bidang matematika, fisika, dan metafisika. Semua hasil matematika adalah
pengetahuan a priori, yang kemudian diamati dan dibuatkan langkah menuju
pengetahuan itu. Kant memberi dua contoh: misalnya “7+5 = 12”, dan “garis lurus
antara dua titik adalah jarak terpendek antara keduanya.” Kedua pengetahuan ini
kita ketahui tanpa menyelidikinya. Penelitian lebih lanjut hanya membantu kita
memastikan pengetahuan ini. Meskipun ada
beberapa perhitungan matematis yang muncul dari pengetahuan analitis, kita
hanya bisa membuktikannya melalui pengamatan sesudah kita menerima rumus
tersebut secara a priori. Dalam fisika, banyak rumus dan presuposisi yang
diberikan berasal dari pengetahuan a priori, dan demikian juga dalam metafisika.
Pertanyaan penting selanjutnya
adalah, bagaimana pengetahuan sintetis secara a priori adalah mungkin (12)? Di
sini Kant mengkritik Hume yang menurutnya tidak pernah sampai kepada ilmu yang
murni. Menurut Hume, ilmu metafisika, di mana semua hal memiliki akibat
terhadap yang lain, adalah sebuah pemikiran yang tidak rasional. Menurut Hume
metafisika muncul dari nalar atau pemikiran yang berlebihan yang muncul dari
pengalaman namun diberi penjelasan seolah-olah dia berasal dari logika.
Untuk menjawab Hume,
Kant mengajukan pertanyaan lain,
- Apakah yang disebut dengan ilmu matematika murni itu
ada?
- Apakah yang disebut dengan ilmu alam murni itu ada?(13)
Ilmu yang murni hanya
ada karena mereka telah ada. Karena itu kita hanya bisa memiliki suatu hal yang
murni karena mereka telah diberikan kepada kita, dan kita kemudian mengujinya
melalui pengalaman. Jadi, alih-alih pengalaman yang membangun pengetahuan yang
murni, pengetahuan murni yang sudah ada itulah yang kita uji melalui
pengalaman. Pengetahuan ini kita sebut dengan metafisika.
Kritik atas penalaran
murni berdiri sebagai pemurni akal dan penuntun logika menuju sebuah
pengetahuan yang lebih baik lagi. Kritik atas alasan murni berdiri sebagai
filsafat transenden yang tidak berdiri sebagai sebuah dogma melainkan sebuah
pemurni, kritik terhadap pengetahuan.
Sebelum kita
melangkah lebih jauh, berikut adalah beberapa istilah yang Kant gunakan yang
akan dipakainya berulang-ulang dalam bab selanjutnya yang penting untuk kita
catat. Pure reason, atau (akal budi) penalaran murni
adalah ketika kita mengetahui sesuatu betul-betul secara a priori. Sementara
itu yang dimaksud dengan transenden
adalah pengetahuan yang diperoleh tanpa keterikatan dengan objek, dan hal ini
hanya bisa kita ketahui melalui pengetahuan a priori. Karena itu filsafat
transendental adalah sistem yang menganut pengertian di atas. Sensibilitas
adalah cara kita mengenali objek, dan pengertian adalah bagaimana kita bisa
memahami objek tersebut. (15)
Bagi Kant, tujuan dari sistem
dari penalaran murni adalah untuk membangun filsafat transendental. Filsafat
transendental adalah ide akan sebuah ilmu, di mana kritik atas penalaran murni
harus menggambarkan seluruh rencananya dari prinsip-prinsip, yang memberi
garansi akan kesahihan dan kestabilan semua bagian yang memasuki sistem
berpikirnya. Filsafat ini adalah sistem dari semua prinsip penalaran murni, dan
Critique of Pure Reason bertugas untuk mengujinya.
To the Critique of Pure Reason, therefore, belongs all
that constitutes transcendental philosophy; and it is the complete idea of
transcendental philosophy, but still not the science itself; because it only
proceeds so far with the analysis as is necessary to the power of judging
completely of our syntethical knowledge a priori (17).
Estetika Transendental
Estetika transendental adalah
ilmu dari prinsip sensibilitas (menerima representasi melalui cara di luar
indra perasa yang membuat kita terpengaruh oleh sang objek) secara a priori. Untuk
menuju estetika murni ini, maka kita harus melepaskan semua indra perasa kita,
sehingga kita bisa menemukan intuisi murni tanpa dipengaruhi oleh fenomena
objek yang kita teliti. Hanya dengan cara inilah kita bisa menemukan
pengetahuan a priori yang murni. Menurut Kant, ada dua bentuk dari hasil indra
kita, namun bisa bebas dari mereka, dan bisa kita ketahui secara a priori,
yaitu ruang dan waktu.
Ada beberapa
pengertian yang diberikan oleh Kant mengenai ruang. Konsep ruang datang
kepada kita dengan sendirinya tanpa bantuan indra peraba dan pengalaman.
Argumen yang dibangun Kant adalah bahwa ruang selalu ada, dan hanya ada satu
untuk semua orang meskipun bentuknya bisa berubah. Kita
semua ada dalam ruang yang sama yang jumlahnya tak terbatas. Ruang adalah
intuisi murni dan bisa berdiri pada dirinya sendiri meskipun tidak memiliki
ukuran atau definisi empiris.
Geometri, atau ilmu ukur ruang dalam matematika,
adalah ilmu yang membantu
kita mengukur ruang. Namun bagaimana ilmu ini
bisa kita teliti tanpa lebih dulu memiliki sejenis paham mengenai ruang? Kita
tidak akan bisa mengukur ruang, dan mengetahui bahwa ukuran yang kita pakai
adalah benar, tanpa pengertian lebih dulu bahwa ruang itu ada. Pemahaman kita
akan ruang tidak dipengaruhi oleh fenomena dari indra peraba kita, dan ruang
akan tetap ada meskipun indra peraba kita tidak ada lagi. Tanpa ruang, kita
tidak akan ada, dan kita sepertinya sudah memiliki ide ini. Semua sensor yang
kita miliki tidak membuat kita menjadi tahu tentang apa ruang itu, namun hanya
memperjelasnya.
Demikian juga dengan konsep kita tentang waktu.
Waktu bukanlah konsep empiris yang berhubungan dengan semua indra peraba kita. Waktu, yang juga tak terhingga
seperti ruang, hanya bisa kita ketahui secara a priori. Kant
berpendapat bahwa kita semua terikat di waktu yang sama. Semua pengetahuan
melalui penelitian dan pengalaman terhadap objek membantu kita untuk memberi
makna terhadap waktu. Sesuatu yang tidak terikat pada ruang tertentu tetap
masih harus terbatas pada waktu. Tanpa pemikiran kita, waktu akan tetap ada dan
mengatur kita.
Waktu dan ruang mengikat kita dan semua pengetahuan
empiris kita. Wkedua hal ini adalah bentuk paling murni, dan tidak ada lagi di
luar kedua hal ini. Pengertian kita tentang ruang dan waktu datang kepada kita
secara a priori tanpa bantuan pengalaman. Pengalaman hanya menguatkan
pengetahuan yang sudah ada itu. Karena itu, ruang dan waktu adalah kenyataan
transenden yang paling murni. Tugas pengetahuan empiris adalah untuk memberi
kita makna akan ruang dan waktu yang kita diami. Jika ruang dan waktu adalah
ciptaan pikiran kita melalui pengalaman, maka seharusnya kita bisa berimajinasi
mengenai apa yang ada di balik mereka. Kita tidak bisa memikirkannya kalau kita
dibatasi oleh pikiran empiris kita. Kant
berpendapat bahwa estetika trasenden hanya memiliki ruang dan waktu sebagai
konsep yang melampaui indra peraba kita yang membuktikan bahwa pengetahuan a
priori itu melampaui pengetahuan empiris manusia. Lebih jauh, Kant bahkan
mengatakan bahwa pengetahuan empiris pun sebenarnya bukan pengetahuan murni,
karena dia adalah fenomena yang datang dari indra peraba kita. Dengan indra,
kita hanya bisa mengetahui sebatas yang kita lihat dan yang ada, padahal
pengetahuan itu lebih dari sekedar apa yang ada pada sensor peraba kita. Peran
dari nalar murni adalah untuk mengetahui batasan ini dan juga batasan pada
dirinya sendiri.
Kesimpulan dan Komentar
Kant berhasil menunjukkan perbedaan antara a priori
dan a posteriori dan mempertahankan pentingnya pengetahuan a priori. Di bab
awal ini Kant memberikan garis besar mengenai apa yang dia mau tulis dalam
bukunya. Satu hal yang penting untuk dicatat dalam membaca Kant lebih lanjut
adalah bahwa Critique of Pure Reason bukanlah kritik terhadap penalaran murni,
melainkan untuk memperlihatkan bahwa nalar murni adalah pengetahuan tertinggi
yang bisa kita peroleh a priori. Critique of Pure Reason juga menunjukkan bahwa
nalar juga memiliki batasan, dan tugas pengetahuan empiris adalah membuktikan
dan menjelaskan pengetahuan kita itu agar dia tidak jatuh menjadi dogma semata.
Pada saat yang sama Kant menjelaskan batasan dunia empiris dan juga batasan
dunia metafisika.
Kant berhasil membedakan pengetahuan sintetis dan a
priori dari analitis dan a posteriori. Dia memberi 4 definisi yang berbeda.
Karena hanya kebenaran a priori yang bersifat universal, seperti dalam ruang
dan waktu, maka kebenaran sejati pastilah a priori. Pengertian semacam ini
memberi argumen terhadap kebenaran a priori. Karena keterbatasan indra kita,
maka tugas pengetahuan empiris adalah menjelaskan keterbatasan metafisika kita.
Kedua hal ini sebenarnya saling terkait.
Menurut saya, Kant sebenarnya tidak pernah ingin
menolak pengetahuan yang kita peroleh melalui pengamatan empiris, dia hanya
ingin menunjukkan bahwa pengetahuan empiris saja tidak cukup untuk sampai
kepada pengetahuan murni. Kenyataan adalah gabungan dari kedua pengetahuan a
priori dan a posteriori, antara sintetis dan analitis.
Kant sebenarnya sudah sangat maju dalam
pemikirannya, bahwa menurutnya, pikiran kita tidak hanya menerima objek yang
ada di sekitar kita, tetapi pikiran kita justru aktif memberi makna
terhadapnya. Pengertian yang sesungguhnya dari suatu objek bisa terdistorsi
oleh indra perasa kita sehingga kita tidak akan bisa sampai kepada pengertian
yang sesungguhnya melalui pengamatan saja. Pengetahuan empiris adalah seperti
pelengkap ke dalam dunia pengetahuan a priori yang sudah lebih dulu ada.
Melalui analisisnya, Kant berhasil menunjukkan
bahwa prinsip dasar dalam matematika justru berasal dari pengetahuan a priori. Namun
pengetahuan a priori ini tidak bisa murni kita terima seperti yang kita
harapkan. Instrumen perasa dan nalar kita yang terbatas membuat kita membutuhkan
keduanya penguji pengetahuan a priori dan analitis.
Ada yang mengkritik Kant dengan mengatakan bahwa
Kant tidak pernah menjelaskan matematika dari sisi empiris. Ketika Kant
menjelaskan matematika dari nalar, maka dia akan menemukannya secara a priori,
sementara matematika adalah pengetahuan yang membutuhkan pembenaran secara
analitis, tanpanya kita tidak tahu apakah pengetahuan a priori itu benar atau
tidak.
Salah satu kritik yang hendak saya ajukan adalah
prinsip Kant yang memandang ruang dan waktu sebagai tak terhingga dan hanya
satu. Berbagai teori baru dalam dunia fisika sepertinya menunjukkan bahwa di
balik ruang yang kita tempati sekarang, ada ruang lain yang juga berjalan pada
waktu bersamaan. Teori ini tetap masih harus dibuktikan. Ada juga teori lain
yang berargumen bahwa pada waktu yang sama, ada waktu lain yang berjalan
beriringan, dan ada jumlah waktu yang tak terbatas yang berjalan beriringan
tanpa memengaruhi satu dengan yang lain. Hal ini juga masih harus terus diuji melalui penemuan baru
di bidang sains.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar