Jika orang punya mata batin yang tajam
dan rindu menemukan ayat – ayat Allah, yang tersebar di mana – mana, tak
usahlah menguasai teori Big Bang (Ledakan Dahsyat). Atau harus paham
karya fisikawan invalid inggris, Stephen Hawking – A Brief history of
Time – yang belum tentu mudah dicerna.
Ayat Allah dapat dijumpai pada peristiwa
atau fenomena alam atau sosial yang sifatnya sangat sederhana. Bisa
diamati pada semut yang beriring, pada lebah yang bergantungan, pada
bunyi siamang ketika subuh, atau pada kicau murai dipagi hari. Juga pada
dengungan kipasan sayap enggang saat terbang tinggi, pada percakapan
seorang bocah dengan orang tuanya, serta pada sikap Pak Bengkel yang
lugu, tulus, dan murah hati.
Kepatuhan Alami
Demikianlah di hari Natal lalu, 25
Desember 2012 menjelang Dzuhur saya bersepeda di kitaran Desa Trihanggo,
Sleman, Yogyakarta, untuk mencari onderdil komponen rantai sepeda yang
harus segera di ganti. Jika tuan dan puan melewati jalan kabupaten
Sleman dari Jalan Godean mengarah ke utara, dalam jarak sekitar dua
kilometer akan dijumpai pohon beringin besar, persis di persimpangan
empat jalan. Melaju ke arah timur pada jarak sekitar 1 kilometer di
kanan jalan sebelum jembatan, ada bengkel sepeda yang laris dikunjungi
langganannya. Di bengkel inilah saya memperhatikan ayat Allah dalam dua
fenomena sederhana yang saling berkaitan. Keterkaitan itu tampak
terjalin akrab sekali.
Ada seorang ayah bersama anak
perempuannya yang masih belajar di taman kanak – kanak milik A’isyiyah
sedang mengganti pedal sepeda bocah ini yang tak lagi bisa di pakai.
Warna pedal itu dipilih yang merah jambu agar serasi dengan warna
sepedannya. Saya perhatikan baik-baik tingkah bocah alit itu, tampaknya
bahagia sekali karena pedal sepedanya di ganti dengan yang baru. Sebuah
kebahagiaan yang sangat tulus dari sebuah keluarga kebanyakan.
Tiba-tiba penjaja es krim lewat. Si
bocah minta pada ayahnya agar dibelikan es kesukaannya itu. Ayahnya
dalam bahasa jawa, dengan lembut menjawab “marahi watuk (bisa
menyebabkan batuk).” Si bocah sama sekali tidak berontak agar ayahnya
memenuhi permintaannya. Tak ada rengut, tak ada gerutu malah bocah ini
senyum-senyum sambil dengan lincah mengitari ayahnya. Bukankah
sebenarnya seorang bocah sulit sekali di pisahkan dengan es krim?
Dalam batin, saya menduga bahwa suasana
rumah tangga keluarga bocah ini tentram sekali. Ayat Allah terlihat
pada sikap ayah yang lembut terhadap anak dan sikap anak yang patuh
kepada orangtua: sebuah kepatuhan alami hasil didikan dini yang teratur
dan santun.
Tidak mudah ditemukan di kawasan modern
buah didikan anak semacam ini. Kegirangan bocah ini kian memuncak ketika
ayahnya melengkapi sepedanya dengan sebuah bel yang di pasang pada
bagian kanan setang. Untuk keseluruhan ongkos plus onderdil, Pak Bengkel
Cuma meminta Rp 25.000, sebuah angka kacang goreng di kawasan kota.
Sikap Pak Bengkel yang satu ini tak
kurang memukau untuk dicacat. Semua serba murah. Ada lagi seorang
laki-laki setengah baya (rupanya kenal dengan saya) menambalkan ban
sepeda motornya yang bocor. Setelah rampung Pak Bengkel saya tanya
berapa ongkosnya. Dijawab, antara Rp 5.000 dan Rp 6.000, padahal
pengerjaannya cukup lama karena karet penambal ban harus dipanaskan
lebih dulu.
Sekarang tibalah giliran sepeda saya
ganti onderdil. Kebetulan barang yang diperlukan tersedia. Ada dua yang
boleh diganti. Pak Bengkel bertanya, apakah diganti satu atau dua
sekaligus? Jawab saya: mana yang baiklah. Lalu diperiksa: cukup satu
saja, katanya. Tak terbetik pada pikiran Pak Bengkel untuk melariskan
barang dagangannya, toh, saya tidak akan bertanya jika keduanya diganti.
Setelah rampung, ongkos plus harga onderdil yang diminta hanya Rp
5.000. Saya terkejut, mengapa terlalu murah, di mana ongkos teknisi dan
keringat? Tentu secara moral saya tidak boleh hanya memberi ongkos hanya
sejumlah yang diminta.
Di luar pola umum
Sebagai bengkel yang laris, saya tanya
mengapa tidak sekalian jualan bensin. Jawab Pak Bengkel polos: agar
berbagi rezeki dengan tetangga yang punya kedai bensin, sekalipun banyak
orang yang menanyakan BBM itu kepadanya.
Pada sikap Pak Bengkel ini jelas sekali
terbaca ayat Allah: rezeki teman jangan direbut, sekalipun peluang untuk
menambah pendapatan terbuka lebar. Kearifan Pak Bengkel ini adalah
penyimpangan dari pola umum yang sedang berlaku di Indonesia: saling
menelikung, saling gasak, dan jika perlu saling menghancurkan demi
berebut rezeki.
Perkara haram atau halal sudah berada di
luar pertimbangan. Kultur Pak Bengkel yang masih bebas dari pencemaran
ini mungkin merupakan sisa-sisa sifat asli Indonesia yang belum
tergerus oleh ganasnya sisi buruk proses modernisasi. (Sumber: Kompas,
Sabtu, 12 Januari 2013)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar