23 Juni, 2013
Ketegangan antara Rasionalisme dan Empirisme
yang berlangsung selama lebih dari satu setengah abad telah mengurangi rasa
hormat kita, tidak hanya kepada ajaran-ajaran filsafat tetapi juga kepada ilmu
pengetahuan pada umumnya. Rasionalisme gagal membangun transendensi Tuhan atas
alam. Alih-alih membuktikan trasendensi Tuhan atas alam semesta, rasionalisme
justru terjerat dalam panteisme implisit ala Descartes, Malabranca, Leibniz,
dan panteisme eksplisit Spinoza. Di lain pihak, empirisme pun gagal membuktikan
eksistensi alam yang diyakini sebagai yang berbeda dari pikiran. Empirisme
justru kehilangan jati dirinya dalam skeptisisme. Tidak bisa dipungkiri,
kegagalan rasionalisme dan empirisme adalah konsekuensi logis dari
fenomenalisme yang sebenarnya adalah fundasi dari rasionalisme dan empirisme
itu sendiri, terutama ajaran bahwa manusia tidak bisa mengetahui benda-benda (things)
atau realitas; bahwa yang diketahui manusia hanyalah penampakan (appearance)
di mana benda-benda atau kenyataan dihasilkan atau diproduksi dalam pikiran
manusia.
Pemikiran Immanuel Kant dan Kritisisme Kantian berusaha menyatukan
rasionalisme dan empirisisme dalam semacam fenomenalisme “baru” (fenomenalisme
jenis unggul). Bagi Kant, manusia adalah aktor yang mengkonstruksi dunianya
sendiri. Melalui a priori formal, jiwa manusia mengatur data kasar pengalaman
(pengindraan), kemudian membangun ilmu-ilmu matematika dan fisika. Melalui
kehendak yang otonom jiwa membangun moralitas, melalui perasaan (sentiment)
manusia menempatkan realitas dalam hubungannya dengan tujuan tertentu yang
hendak dicapai (finalitas) serta memahami semuanya secara inheren sebagai yang
memiliki tendensi kepada kesatuan (unity).
Berbagai contoh kegiatan manusia ini membentuk apa yang disebut
Kant sebagai “Revolusi Kopernican”. Gagasan seputar Revolusi Kopernican
ini dapat dirumuskan secara singkat berikut: Apa yang harus diketahui manusia,
apa yang harus dilakukan, dan apa yang harus percaya menemukan pembenarannya
bukan dalam realitas yang ada dalam dirinya (noumenon) sebagaimana
metafisika tradisional memahaminya, tetapi di dalam kemampuan teoritis, praktis
dan estetika manusia. Menurut Kant, pengetahuan tentang bagaimana
kemampuan-kemampuan ini berfungsi merupakan persiapan yang diperlukan bagi
semua metafisika semua (istilah “noumenon” susah diterjemahkan. Kata ini
dimaksud untuk menyebut apa yang Kant sebut sebagai “Ding-an sich”, yakni hal
dalam dirinya sendiri, atau obyek, sebagai lawan dari fenomena, pengaruh atau
efek subyektif yang dihasilkan oleh kesadaran kita.
Jika secara retrospeks Kritisisme Kantian menandai
persimpangan jalan dan sublimasi rasionalisme dan empirisme, sebenarnya bisa
dikatakan bahwa Kritisisme Kantian memiliki benih dari semua pemikiran
filosofis berikutnya, termasuk filsafat kontemporer. Didalamnya menolak
noumenon, idealisme mereduksikan realitas kepada sekadar fenomena dari “ego”
impersonal yang menampilkan aktivitasnya secara dialektis. Positivisme, pada
gilirannya, mereduksikan realitas kepada sekadar fenomena dari materi.
Idealisme dan positivisme kemudian melahirkan eksistensialisme kontemporer,
filsafat tanpa metafisika dan untuk memberikan pengetahuan tentang dunia yang
diselenggarakan oleh daya-daya imanen. Sama seperti pendahulunya,
eksistemsialisme tidak mampu menawarkan jalan keluar definitif bagi
masalah-masalah perennial filsafat.
Hidup dan Karya
Immannuel Kant lahir di Konigsberg di Prusia Timur pada tanggal 22
April 1724. Memulai studinya di Fredericianum Collegium, salah satu pusat
pietisme Jerman termasyur, Kant kemudian mendaftar di sekolah filsafat di
Universitas Konigsberg, di mana dia belajar filsafat rasionalistik Wolff serta
matematika dan fisika Newton. Setelah menamatkan studi di universitas tersebut
Kant menghabiskan sembilan tahun menjadi guru bagi beberapa keluarga terpandang
sebelum kembali mengajar di almamaternya ini.
Kembalinya Immnuel Kant ke Konigsberg pada tahun 1755 ditandai
dengan terbitnya salah satu bukunya berjudul General Natural History and
Theory of Heavens, di mana ia membahas hipotesis bahwa sistem tata surya
sebenarnya bersumber pada materi asali nebulus. Setahun kemudian Kant mulai
mengajar di Universitas Konigsberg sampai tahun 1797. Tahun 1756 menandai
pembaruan minat dalam penyelidikan filosofis. Dirangsang oleh empirisme Hume
dan naturalisme Rousseau, Kant mulai merencanakan revisi kritis terhadap
rasionalisme dogmatis Leibniz dan Wolff, pemikiran yang sangat diakrabinya
selama masa “tidur dogmatis”.
Seluruh keraguan yang menumpuk dalam pikiran Kant menemukan
ekspresinya dalam karya berjudul The Dreams of a Visionary Illustrated with
the Dreams of Metaphysics. Buku ini ditulis Kant pada tahun 1766. Pandangan
visioner yang didiskusikan Kant dalam buku ini terutama berpusat pada karya
Swedenborg, seorang metafisikawan Swedia yang waktu itu ajarannya menjadi topik
yang hangat didiskusikan. Diangkat menduduki kursi Logika dan Metafisika di
Universitas Konigsberg pada tahun 1779, Kant menyelesaikan studinya dengan
disertasi De Mundi sensibilis atque intelligibilis formis et principiis,
di mana untuk pertama kalinya dia menunjukkan kecenderungan mengadopsi sistem
independen filsafat.
Tidak sampai sepuluh tahun ketika periode “pra-kritis” Kant
berakhir. Pada tahun 1781 Kant muncul sebagai pelopor kritik transendental
dengan penerbitan karya Critique yang pertama. Demikianlah, dimulai
“periode kritis” yang bertahan sampai tahun 1794. Setelah beberapa publikasi
tentang agama yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Kekristenan tradisional,
Kant mentaati perintah Raja Frederick William II untuk tidak membicarakan
masalah agama dalam ajaran dan tulisan-tulisannya. Pensiun dari mengajar karena
usia dan sakit, Kant menghabiskan tahun-tahun terakhir hidupnya dengan mengedit
ulang karya-karyanya. Dia meninggal di kota kelahirannya pada tanggal 28
Februari 1804.
Karya utama Kant adalah Critique of Pure Reason, di mana
dia menguji akal manusia dan menyimpulkan bahwa manusia mampu membangun ilmu
pengetahuan, dan bukan metafisika. Pada tahun 1783 ia menerbitkan Prolegomena
atau Prologues to any Future Metaphysics, di mana dia menguji hal yang
sama dari sudut pandang yang berbeda. Pada 1785 terbitlah karyanya berjudul Foundation
for the Metaphysics of Ethics, di mana ia mendiskusikan masalah moral
berdasarkan prinsip-prinsip kritik transendental. Dalam bukunya Critique of
Judgment, ia menguji finalitas dalam alam dan masalah estetika. Ketiga Critique
inilah yang menjadi maha karya serta eksposisi definitif pemikiran seorang
Immanuel Kant.
Kritik atas Rasio Murni
Rasionalisme dan empirisisme mengambil alih penyelesaian problem:
“Nilai apa yang dikandung oleh pengetahuan (ide atau impresi) yang aku dapatkan
tentang dunia fisikal (material) dan hubungannya dengan apa yang harus aku
lakukan?” Pertanyaan ini mengandung sekaligus masalah epistemologis dan etis.
Untuk mengatasi kesulitan, rasionalisme—dari Descartes sampai Leibniz—telah
mulai dengan asumsi bahwa pikiran manusia dianugerahi dengan ide-ide bawaan.
Memulainya dengan melakukan deduksi dari ide-ide bawaan ini, rasionalisme
membangun pengetahuan yang dilengkapi dengan universalitas (karena
ide-ide bawaan bersifat umum bagi semua pikiran) dan sesuatu yang dibutuhkan
(kualitas yang harus dimiliki semua pengetahuan ilmiah dan filsafat). Tetapi
rasionalisme gagal menunjukkan keabsahan atau validitas jenis pengetahuan ini
dalam rujukannya kepada dunia alam tanpa jatuh ke panteisme. Selanjutnya, dalam
setiap pertimbangan mengenai Allah yang transenden, orde atau susunan ide-ide
tetap terpisah dan berbeda dari orde atau susunan benda-benda.
Di lain pihak, empirisme berusaha menjawab pertanyaan yang sama
dan memulainya dengan impresi inderawi. Dengan cara ini empirisme mengklaim
telah “menemukan” salinan atau kopi objek yang ditangkap melalui impresi
indrawi tersebut. Meskipun demikian, cara ini tidak mampu menunjukkan aspek
universalitas dari dan keniscayaan pengetahuan tersebut. Empirisme lupa bahwa
setiap persepsi, meskipun bersifat tak-terbatas (ad infinitum), tetap
saja partikular. Kritisisme semacam ini tentu telah terlebih dahulu digagas dan
dikemukakan David Hume dan tak-terbantahkan. Untuk menghindari kesulitan
sebagaimana dihadapi empirisme ini, Hume mengemukakan unsure psikologis yang
lain yang disebut sebagai kebiasaan mengasosiasi (the habit of association)
yang menghubungkan impresi yang satu dengan impresi lainnya dan kemudian
memberikan mereka unsur universalitas dan keniscayaan. Apakah jalan keluar ini
memuaskan? Harus diingat di sini, jika intelek bisa menghubungkan fenomena yang
satu dengan fenomena lainnya dan kemudian menegaskan dimensi universalitas dan
keniscayaan mereka, intelek semacam itu tentu bukanlah “tabula rasa”. Intelek
dengan kemampuan semacam ini pasti memiliki konsep-konsep tertentu dalam
dirinya (innate concept) mengenai universalitas dan keniscayaan, yang
kemudian mengatributkannya kepada fenomena partikular ketika fenomena-fenomena
itu dihubungkan satu sama lain dalam kelompok atau kelas tertentu.
Lihatlah bahwa gagasan yang sangat tidak memuaskan yang ditawarkan
empirisme maupun jalan keluar yang disodorkan Hume sungguh-sungguh “memaksa”
Kant untuk memikirkan cara terbaik memahami realitas. Kant tertantang
untuk menemukan unsur objektif dan nilai etis dari pengetahuan kita [dua
pertanyaan penting yang dijawab Kant adalah (1) what can I know? yang
berhubungan dengan teori pengetahuan dan (2) what should I do? yang berhubungan
dengan masalah etika]. Dalam usahanya menawarkan sebuah solusi yang konklusif, Kant
menulis karya Critiques (disebut demikian karena dimaksudkan untuk
mengkritik dalam pengertian mendiskusikan dan menimbang). Demikianlah, seluruh
karya Immanuel Kant dapat sebut sebagai usaha serius menguji secara saksama
rasionalisme dan empirisme, tentu bukan untuk memberangus sama sekali keduanya,
tetapi untuk menemukan kelemahan-kelemahan mereka seraya tetap mempertahankan
hal-hal esensial dari keduanya.
Menurut Kant, rasionalisme termasuk jenis “putusan analitis.
Disebut demikian karena jenis putusan ini mengkonstruksi sebuah sistem
pengetahuan yang dilengkapi dengan aspek atau dimensi universalitas dan
keniscayaan, tetapi bagi Kant, jenis pengetahuan semacam ini bersifat
tautologis. Jenis pengetahuan ini tidak mampu membantu kita memahami realitas.
Pengetahuan jenis ini tentu tidak andal, karena itu pengetahuan harus maju
selangkah lagi, dan menurut Kant, pengetahuan harus bersifat “sintetis”. Yang
dimaksud adalah jenis pengetahuan yang predikatnya memperluas pengetahuan kita
mengenai subjek. Empirisme tentu bukanlah jenis putusan “sintetis”, tetapi
lebih merupakan putusan a posteriori, di mana predikatnya tidak lebih dari
fakta pengalaman, dan tentu saja mengakibatkan putusan ini kehilangan unsur
universalitas dan keniscayaannya. Jenis putusan apapun yang tidak memiliki
unsur universalitas dan keniscayaan tentu bukanlah jenis pengetahuan filosofis
yang cukup meyakinkan.
Kant mengajarkan bahwa ada jenis putusan lain yang disebut putusan
sintetis apriori. Bagi Kant, jenis putusan ini akan mengarah kepada pengetahuan
ilmiah yang benar. Jenis putusan ini disebut sintetis karena memiliki karakter
universalitas dan memenuhi criteria keniscayaan (necessity) tanpa
menjadi tautologis. Selain itu, jenis putusan ini pun memiliki fekunditas
putusan aposteriori tanpa dibatasi pada pengada tertentu yang ada di dunia
empiris. Syarat pembentukan setiap putusan sintetis apriori adalah perlunya
putusan memiliki forma (form) dan materi (matter). (1) Forma
diberikan oleh intelek, independen dari semua pengalaman, a priori, dan
menandakan fungsi, cara dan hukum mengetahui dan bertindak yang eksistensinya
mendahului seluruh pengalaman. (2) Materi tidak lain adalah sensasi subjektif
yang kita terima dari dunia luar.
Melalui kedua unsur inilah manfaat dari rasionalisme dan empirisme
dipersatukan dalam putusan yang sama: forma mewakili unsur universal dan
niscaya, sedangkan materi mewakili data empiris. Putusan yang dihasilkan
(sintetis apriori) adalah universal dan niscaya karena forma, dan absah bagi
dunia empiris karena materi. Perlu dicatat bahwa kedua elemen ini harus ada
dalam setiap pembentukan putusan sintetis apriori: forma tanpa materi adalah
hampa; materi tanpa bentuk adalah buta.
Jelas, pengetahuan diperoleh melalui putusan apriorinya Kant
adalah jenis pengetahuan yang memiliki hanya nilai fenomenal. Jenis pengetahuan
ini tidak memberikan pemahaman yang valid mengenai obyek “in se” atau
sebagaimana merekaa eksis di alam (noumena), tetapi hanya sejauh mereka
dipikirkan oleh subjek. Ego berpikir Kant tidak mengasimilasi obyek,
sebagaimana dipertahankan filsafat tradisional, tetapi konstruksinya.
Kenyataannya, baik materi dan bentuk (sensasi) adalah elemen subjektif dan
tidak memperlihatkan kenyataan; bahkan tetap terpisah dan berbeda dari subjek.
Kant menyajikan studinya mengenai putusan sintetis apriori dalam Critique
of Pure Reason. Karya ini dibagi menjadi tiga bagian:
v
Dalam Transcendental
Aesthetic (Estetika Transendental), Kant menyelidiki unsur-unsur
pengetahuan yang masuk akal mengacu pada suatu bentuk apriori ruang dan waktu.
Objek penelitian ini adalah untuk membuktikan matematika sebagai ilmu yang
sempurna.
v
Karya Transcendental
Analytic (Analitika Transendental) adalah sebuah penyelidikan
ke dalam pengetahuan intelektual. Obyeknya adalah dunia fisik, dan ruang
lingkupnya adalah membuktikan “fisika murni” (mekanik) sebagai ilmu yang
sempurna.
v
Objek penelitian dari Transcendental
Dialectic (Dialektika Transendental) adalah realitas yang melampaui
pengalaman kita; yaitu esensi Allah, manusia dan dunia. Kant mereduksikan
objek-objek dari metafisika tradisional ini kepada “ide-ide,” yang tentangnya
berputar-putar secara sia-sia, tanpa harapan untuk bisa tiba pada sebuah hasil
yang pasti.
1.
Estetika Transendental
Awal
pengetahuan adalah sensibilitas. Artinya pengetahuan berawal dari proses
sensasi atau pengindraan. Supaya pengetahuan bisa dihasilkan, sensasi harus
dilokasikan dalam ruang (in space), jika pengetahuan tersebut dihasilkan
melalui indera eksternal. Sementara itu, sensasi dilokasikan dalam waktu (in
time) jika pengetahuan dihasilkan satu melampaui lainnya, tidak peduli dari
mana asal pengetahuan tersebut, bahkan ketika pengetahuan tersebut hanyalah
keadaan kesadaran yang sederhana, misalnya kenikmatan dan rasa sakit.
Bagi Kant, ruang dan waktu bukanlah realitas yang eksis dalam
dirinya sendiri, sebagaimana dipercaya Newton. Ruang dan waktu juga bukan
realitas yang dihasilkan oleh pengalaman, sebagaimana dipertahankan
Aristoteles. Ruang dan waktu lebih merupakan bentuk-bentuk a priori,
Pengetahuan pada tingkat pengindraan (intuisi murni) membawa dalam dirinya
semacam kegentingan (exigencies), bahwa setiap pengindraan (sensation)
harus dilokasikan dalam ruang, entah itu di atas, di bawah, di sebelah kiri
atau kanan, dan dalam waktu, yakni sebelumnya, sesudahnya, atau yang bersamaan
dengan pengindraan lainnya. Demikianlah, ruang dan waktu adalah
kondisi-kondisi, bukanlah eksistensi dari sesuatu tetapi posibilitas dari
keberadaannya yang termanifestasi di dalam diri kita. Singkatnya, ruang dan
waktu adalah bentuk-bentuk subjektif.
Aritmatika dan geometri kemudian didasarkan pada ruang dan waktu.
Akibatnya, mereka didasarkan pada bentuk-bentuk subyektif, serta aspek
keseluruhan (universalitas) dan kondisi yang harus ada (necessity) yang
kita temukan di dalam mereka muncul atau dihasilkan dari bentuk-bentuk
subyektif ini. Dengan kata lain, aritmatika dan geometri adalah ilmu mutlak,
bukan karena mereka mewakili sebuah aspek universal dan keniscayaan dari dunia
fisik tetapi karena mereka adalah konstruksi apriori jiwa manusia dan menerima
darinya universalitas dan keniscayaan.
2. Analitik
Transendental
Intuisi
murni tentang ruang dan waktu menyajikan kepada kita spektrum pengetahuan
(dalam epistemologi Kant digunakan istilah manifold, dimaksud sebagai “the
totality of discrete items of experience as presented to the mind; the
constituents of a sensory experience”), tetapi sebenarnya merupakan
pengetahuan yang tidak tertata. Jiwa manusia, yang cenderung ke arah penyatuan
pengetahuan, tidak bisa berhenti pada intuisi yang membingungkan ini. Roh atau
jiwa manusia selalu ingin bergerak maju ke pengetahuan pada tingkat yang lebih
tinggi yang berpusat di kecerdasan (intellect) dan yang kegiatannya
adalah mengatur data yang diinderai yang tersebar dalam ruang dan waktu.
Aktivitas ini dimungkinkan melalui bentuk-bentuk (forms) apriori
atau atau kategori-kategori yang dengannya intelek mendapatkan bentuknya.
Bentuk-bentuk atau kategori-kategori semacam ini berfungsi sebagai berikut:
v
Pada intuisi, misalnya,
intuisi mengenai “pohon”. Saya punya data tertentu yang diindrai (warna, daun,
cabang, dll) yang eksis dalam ruang dan dalam perubahan yang sifatnya temporal.
v
Intelek mengolah
data-data ini (data-data pohon) sesuai keadaan alamiahnya—yakni sesuai bentuk
atau forma apriorinya—dan menggunakan substansi untuk memantapkan atau
menstabilkan data-data pengindraan yang masih berubah-ubah ini. Pada
gilirannya, substansi lalu menjadi salah satu dari kategori intelek. Meskipun
demikian, intelek tidak berdiam diri di dalam substansi.
v
Proses ini akan terus
berlanjut di mana data yang dikelola intelek kemudian diletakkan dalam
hubungannya dengan data yang mendahului “pohon” itu. Intelek kemudian
mengasosiasikan data-data tersebut dengan konsep kedua, yakni “penyebab” (cause).
Ini adalah kategori kedua, yang karenanya fenomena terikat atau tergantung satu
sama lain berkat bantuan suatu koneksi yang sifatnya universal dan perlu.
Hubungan atau koneksi ini terjadi sedemikian rupa sehingga pada saat fenomena
ada atau terjadi (penyebab), pada saat itu pula fenomena lainnya (efek) harus
terjadi, selalu dan di mana-mana.
Ada 12 kategori intelek, dan dibagi oleh Kant menjadi empat kelas,
yakni kuantitas, kualitas, hubungan, dan moda. Keduabelas
kategori berfungsi sebagai kerangka acuan di mana hukum-hukum mekanis alam bisa
dipahami. Perlu dicatat bahwa unifikasi permanen dari data yang diinderai ini
hanya mungkin dengan syarat bahwa intelek pemersatu (yang dimaksud adalah
intelek) tetap identik dengan dirinya sendiri. Jika intelek berubah-ubah di
hadapan data yang diinderai, mustahil mencapai suatu unifikasi permanen.
Demikianlah universalitas dan objektivitas ilmu pengetahuan menyiratkan keabadian
intelek dalam identitasnya.
3.
Dialektika Transendental
Klasifikasi yang dilakukan intelek atas data-data yang ditangkap
intuisi ke dalam kategori-kategori tidak pernah mencapai suatu penyatuan
sempurna. Dalam dunia fenomenal selalu ada serangkaian fenomenal yang
memperpanjang sendiri tanpa batas dalam ruang dan waktu. Dalam diri kita,
bagaimanapun, ada kecenderungan untuk mencapai penyatuan fenomena secara tetap,
dan sebagai akibatnya timbul dalam diri kita “ide-ide” tertentu yang berfungsi
sebagai titik acuan dan pengatur bagi fenomena secara keseluruhan. “Ide-ide”
dimaksud ada tiga, yakni, (1) ego personal, prinsip pemersatu atas semua
fenomena internal; (2) dunia eksternal, prinsip pemersatu dari semua fenomena
yang datang dari luar, dan (3) Allah, prinsip pemersatu dari semua fenomena,
terlepas dari asal-usul mereka.
Ego personal, dunia eksternal, dan Allah (realitas tertinggi dari
metafisika tradisional), disebut numena, yaitu, realitas dalam dirinya,
pengada yang melampau realitas yang diindrai dan dan tak-terkondisikan. Kant
menyajikan ketiga entitas ini dalam karyanya berjudul Dialektika
Transendental, bagian ketiga dari Critique of Pure Reason.
Demikianlah, Dialektika Transendental membawa kita ke
tingkat ketiga dari pengetahuan manusia. Inilah bagian dari pengetahuan manusia
yang menyibukkan diri dengan “ide-ide” yang oleh Kant sendiri disebut sebagai
rasio. Bagian ketiga dari Critique of Pure Reason bertujuan untuk
melihat apakah ide-ide mengenai “ego”, “dunia”, dan “Allah” memungkinkan kita
untuk mengetahui kenyataan sebagaimana mereka representasikan, atau apakah
pengetahuan tersebut tidak mungkin. Ide-ide ini pada gilirannya akan menjadi
semacam wadah subjektif tanpa makna. Jelas bahwa kritisisme Kant berakhir dalam
skeptisisme. Rasio murni selalu terhubung dengan intuisi yang bisa diindrai,
dan karena itu tidak dapat sampai pada pengetahuan tentang ego personal, dunia,
dan Allah. Ketiga realitas ini melampaui data-data intuisi.
Sehubungan dengan “ego personal” (substansi)—objek dari psikologi
rasional dalam filsafat tradisional—Kant mengamati bahwa hal itu lenyap dalam
paralogisme-paralogisme, yaitu di dalam sofisme, penalaran palsu. Jadi,
bertentangan dengan Descartes, Kant percaya bahwa substansi spiritual tidak
dapat diketahui secara langsung. Apa yang dapat kita ketahui secara langsung
adalah tindakan mengetahui (fenomena). Serangkaian tindakan ini, bahkan jika
diekstensi secara tak-terhingga, tidak akan pernah memberikan kita pengetahuan
tentang kenyataan seperti ego personal, yang seharusnya berada melampau
rangkaian pengetahuan ini. Selain itu, bagi Kant, substansi adalah kategori
intelek yang memiliki hubungan hanya kepada data-data yang bisa diindrai, dan
akibatnya tidak berguna dalam upaya menemukan pengetahuan tentang realitas yang
melampaui pengindraan. Kant pada titik ini diarahkan langsung kepada Descartes
yang berpendapat bahwa objek pertama pengetahuan adalah jiwa (substansi
spiritual).
Dengan mengacu pada dunia eksternal, yang mengenainya studi
filsafat tradisional mempelajarinya secara khusus dalam kosmologi, Kant
mengatakan bahwa itu hilang dalam antinomi-antinomi, yaitu dalam proposisi
kontradiktoris, dan bahwa intelek tidak mampu membedakan manakah dari proposisi
yang bertentangan adalah benar. Antinomi-antinomi ini berjumlah empat,
masing-masingnya dibentuk dari sebuah tesis dan antitesis yang sesuai. Keempat
antinomi tersebut adalah berikut:
- Tesis: Dunia harus memiliki awal dalam waktu dan
tertutup dalam dalam ruang yang terbatas. Antitesis: Dunia ini
kekal dan tak-terbatas.
- Tesis: Materi pada akhirnya dapat dibagi menjadi
bagian-bagian sederhana (atom atau monad-monad) yang pada dirinya tidak
bisa lagi dibagi menjadi bagian yang lebih kecil lagi. Antitesis:
Setiap benda material dapat dibagi, bahwa ada sesuatu yang sederhana yang
sedang berada atau eksis di satu tempat tertentu di dunia ini.
- Tesis: Selain kausalitas yang sesuai dengan hukum
alam (dan karena itu perlu), ada kausalitas yang bebas. Antitesis:
Tidak ada kebebasan; segala sesuatu di dunia ini terjadi sepenuhnya sesuai
hukum alam.
- Tesis: Terdapat eksistensi pengada absolute
tertentu yang perlu yang menjadi bagian dari dunia, entah sebagai bagian
atau sebagai penyebabnya. Antitesis: Pengada absolute tertentu yang
perlu itu tidak eksis, entah di dalam dunia ini atau di luarnya.
Dua antinomi pertama (pertentangan berada di antara semesta yang
terbatas dan yang tak- terbatas dan di antara materi dapat dibagi dan
tak-dapat-dibagi) adalah bagian dari dunia fisik. Menurut Kant, mereka tidak
berkorespondensi dengan “benda dalam dirinya sendiri” (noumenon), karena
mereka adalah aplikasi tidak sah dari kategori ruang dan waktu terhadap “benda
dalam dirinya sendiri.” Dengan kata lain, dalam dua antinomi ini dunia fisik
dianggap sekaligus sebagai “benda di dalam dirinya” yang terlepas dari
keniscayaan mekanistik alam (ruang dan waktu) dan sebagai subjek dari
keniscayaan mekanistik yang sama. Oposisi apapun yang diturunkan dari posisi
kontradiktoris ini niscaya palsu.
Dua antinomi lainnya berhubungan dengan yang pertama adalah roh
(kebebasan) dan yang kedua berhubungan dengan Allah. Keduanya bisa menjadi
benar dari sudut pandang noumenikal dan dari titik pandang fenomenal. Memang,
akan ada kontradiksi yang sama seperti disebutkan di atas, jika kebebasan dan
Allah dipahami sebagai pengada yang tunduk pada kausalitas mekanis. Tetapi roh
dan Allah dapat diafirmasi tanpa mempertimbangkan ruang dan waktu, dan dalam
kasus ini tesis dari dua antinomi tersebut tidak menyiratkan adanya
kontradiksi.
Dengan demikian tesis-tesis tersebut hanya benar jika mereka
diafirmasi hanya dari sudut pandang numenal, sama halnya dengan antitesis
adalah benar jika mereka diafirmasi hanya dari sudut pandang fenomenal. Demikianlah
Kant menyimpulkan kritisismenya, membiarkan pintu terbuka bagi afirmasi akan
eksistensi roh dan Allah. Meskipun demikian, harus dicatat bahwa kesimpulan
semacam itu tidak dapat disebut sebagai pengetahuan yang benar, karena tidak
didasarkan pada intuisi apapun. Bagi Kant, intuisi sendiri menyingkapkan
asal-muasal pengetahuan sejati.
Akhirnya, mengacu pada gagasan tentang Allah, Kant mereduksikan
argumen yang oleh teologi rasional justru sangat ditonjolkan dalam membuktikan
eksistensi Allah berikut:
- Argumen Ontologis (St. Anselmus, Descartes). Kant menyatakan
bahwa pembuktian ini tidaklah memadai bukan hanya karena Allah bukanlah
objek intuisi, tetapi juga karena peralihan dari dunia fenomenal
(pemikiran) ke dunia numenal (realitas) tidaklah sah.
- Argumen kosmologis. Kant menyatakan bahwa argumen ini tidak
memadai karena mendasarkan dirinya pada prinsip kausalitas, dan bagi Kant,
kausalitas adalah salah satu kategori yang hanya berlaku dalam dunia
pengalaman dan bukan untuk apa yang ada di luar pengalaman.
- Argumen teleologis. Argumen ini menunjukkan kepada kita bahwa
di mana ada finalitas atau tujuan di situ ada Intelijensi, yakni seorang
perancang. Namun, seperti Kant mengamatinya secara benar, argumen ini
tidak menunjukkan Inteligensi itu sebagai pengada yang paling sempurna,
yaitu Allah.
Demikianlah, Critique of Pure Reason menyimpulkan bahwa
pengetahuan kita tidak mencapai realitas metafisik (numena). Kant tidak
menyangkal eksistensi Allah dan dunia eksternal. Dia juga tidak menyangkal
keabadian jiwa, tetapi ia mengatakan bahwa entitas-entitas semacam itu tertutup
bagi penyelidikan ilmiah. Penyelidikan ilmiah sendiri memiliki dunia fenomenal
sebagai objek, dan sama sekali tidak mampu menembus dunia supra-fenomenal,
yaitu dunia numena, yang tidak berkondisi. Menurut Kant, Allah, dunia dan jiwa
dapat dipahami melalui kegiatan lain, yakni rasio praktis. Apakah yang dimaksud
dengan rasio praktis?
Kritik Nalar
Praktis
Dalam Kritik Atas Rasio Murni (Critique of Pure Reason),
Kant menjadikan unsur-unsur penting dari semua pengetahuan (universalitas dan
keniscayaan) tergantung (dependent), bukan pada isi pengalaman, tetapi
pada bentuk-bentuk apriori. Demikian juga dalam Kritis Atas Rasio Praktis
(Critique of Practical Reason), Kant membuat universalitas dan hukum
moral menjadi tergantung, bukan pada tindakan empiris dan tujuan yang kita
niatkan dalam tindakan kita, tetapi pada imperatif kategoris, yakni dalam
kehendak (will) itu sendiri. Sebuah tindakan akan menjadi tindakan yang
baik secara moral jika kehendak (will) adalah otonom. Tindakan
dilakukan bukan berdasarkan pertimbangan pada hasil akhir yang akan dicapai
tetapi hanya pada ketaatan pada kewajiban. “Kewajiban demi kewajiban itu
sendiri”: inilah rigiditas kewajiban moral Kantian. Ini artinya di antara semua
imperatif yang dapat menentukan kehendak (will) dalam sebuah tindakan
perlu membedakan yang hipotesis dari yang kategoris.
Imperatif hipotetis menetapkan sebuah perintah demi mencapai
sebuah tujuan dan dengan demikian sangat dikondisikan oleh hasil akhir yang
hendak dicapai tersebut. Misalnya, Anda harus mengkonsumsi obat yang diperlukan
jika Anda ingin sembuh. Sementara itu, imperatif kategoris mendesakkan dirinya
secara otomatis, yakni berdasarkan kekuatan kewajiban, tanpa memperhatikan hal
baik atau atau buruk yang mungkin timbul karena tindakan tersebut. Msalnya,
“Kerjakan ini karena itulah kewajibanmu.” Hanya imperatif kategoris menikmati
universalitas dan keharusan, dan karenanya hanya mereka dapat menjadi dasar
moralitas.
Perbedaan mendasar harus dikemukakan antara bentuk a priori
intelek (kategori-kategori) dan bentuk-bentuk a priori dari kehendak (imperatif
kategoris). Yang pertama, akan menjadi tak-bermakna (void) jika kehilangan
unsur material. Bentuk-bentuk a priori intelek membutuhkan unsur empiris agar
bisa dipahami. Sebaliknya, bentuk-bentuk a priori dari kehendak tidaklah
kosong. Bentuk-bentuk ini memiliki elemen-elemen penentu dalam dirinya sendiri.
Dengan kata lain, hal sebaliknya harus dikatakan di sini: Bukanlah unsur-unsur
empiris yang menentukan bentuk (imperatif), tetapi justru bentuk-bentuklah yang
menentukan unsur empiris dan menjadikannya mengandung tuntutan moral.
Misalnya, perintah “Jangan berbohong” menjadi kewajiban
bukan karena orang tidak berbohong (unsur empiris), tetapi karena perintah ini
berasal dari kehendak (will) selaku pengatur unsur-unsur empiris.
Kehendak adalah legislator otonom dalam ranah tindakan. “Jadi bertindaklah
sedemikian rupa sehingga kehendakmu dapat diperhitungkan sebagai yang
menetapkan kewajiban-kewajiban moral,” demikianlah salah satu imperatif
kategoris Kantian. Tetapi jika kita bertindak demikian, kita sudah berada dalam
dunia yang melampaui pengindraan dan tak-terkondisikan.
Menurut Critique of Pure Reason kita tidak dapat mencapai
realitas yang melampaui pengindraa (noumenon) karena bentuk-bentuk
pengetahuan kita (kategori-kategori) adalah kosong. Isi dari kategori-kategori
itu tidak bisa tidak bersifat fenomenal, hal yang terkondisikan. Sebaliknya,
bentuk-bentuk kehendak (imperatif kategoris) memiliki isi yang sifatnya
independen dalam dirinya, tidak dikondisikan oleh unsur material. Adalah
kehendak itu sendiri yang membuat tindakan manusia bersifat baik secara moral,
dan tidak sebaliknya. Bahkan, menurut Kant, tindakan empiris akan baik hanya dengan
syarat bahwa itu dilakukan demi kewajiban. Demikianlah, kehendak tetaplah
melampaui dunia fenomenal nan mekanik. Kehendak adalah bagian dari dunia
numenal, yakni yang tidak-berkondisikan.
Begitu telah mencapai realitas yang melampaui pengindraan (ingat
baik-baik: melalui rasio praktis, dan bukan melalui rasio kognitif), Kant
memutuskan untuk menguji apa yang mungkin menjadi postulat (kondisi yang
niscaya) yang membuat moralitas menjadi mungkin. Dalam investigasi ini Kant
berpendapat bahwa ada tiga postulat yang membangun moralitas, yaitu, kebebasan,
keabadian jiwa, dan Allah. Inilah tiga realitas tertinggi dari
filsafat tradisional, dan Kant, yang telah menyangkal kemampuan kita untuk
mencapai mereka melalui pengetahuan teoritis, percaya bahwa ia bisa menegaskan
eksistensi mereka melalui akal budi praktis.
v
Pertama, Kant mengamati
bahwa kehendak bersifat independen dari semua daya pikat yang berasal dari
dunia fenomenal. Alasannya karena kehendak bersifat otonom. Kehendak tidak bisa
bersifat demikian jika dia ditentukan atau dikondisikan oleh mekanisme kausal.
Oleh karena itu, kehendak adalah bebas (postulat pertama).
v
Kedua, Kant mengamati
bahwa kebajikan adalah kebaikan tertinggi. Tapi keinginan (desire) kita
tidak akan sepenuhnya terpuaskan kecuali jika kebahagiaan selalu menjadi akibat
dari setiap kebajikan. Dalam dunia fenomenal ini, adalah mustahil mencapai
kebahagiaan melalui kebajikan. Dari fakta ini—bahwa kebahagiaan berada di
luar pencapaian dalam kehidupan sekarang—muncul keyakinan akan keabadian jiwa (postulat
kedua).
v
Ketiga, karena kita
yakin bahwa kebahagiaan mengikuti kebajikan tentu, keyakinan ini melahirkan
kepercayaan akan eksistensi Allah (postulat ketiga).
Demikianlah, Kant yakin bahwa dia tidak hanya telah merekonstruksi
dunia metafisika tradisional, tetapi juga yakin bahwa dirinya telah meletakkan
dasar yang lebih solid bagi metafisika, pendasaran metafisika yang melampaui
berbagai keraguan apa pun mengenainya. Bagi Kant, kehendak memiliki keunggulan
melampaui intelek.
Kritik atas Putusan
Critique of Pure Reason dan Critique of Practical Reason sama-sama membentuk
dualisme—fenomena dan noumenon, yakni yang dapat diinderai dan melampaui
pengindraan, yang terkondisikan dan tak-terkondisikan, keniscayaan mekanis dan
kebebasan. Tidak ada filsafat lain yang sanggup menyimpulkan dualism semacam
itu, karena ego pada saat yang sama adalah subjek baik bagi dunia teoritis
maupun dunia praktis. Oleh karena itu perlu bahwa kedua aspek—teoritis dan
praktis—melaluinya realitas ditampakkan, disintesakan dalam sebuah kesatuan
yang berpusat pada ego.
Kant mempertahankan pandangan bahwa sintesis semacam itu adalah
mungkin melalui putusan atas perasaan (judgement of sentiment), yakni
studi yang mengenainya disajikan Kant dalam Kritik atas Putusan (Critique
of Judgment). Putusan atas perasaan janganlah dicampur aduk dengan putusan
sintetis a priori yang sudah didiskusikan dalam Critique of Pure Reason.
Hal yang terakhir ini mengandaikan suatu bentuk kosong atau forma kosong
intelek (kategori), yang ditentukan oleh elemen tertentu yang ditangkap melalui
pengindraan. Kant menyebut putusan sintetik a priori sebagai jenis putusan yang
penting (determining judgement), dan inilah yang kemudian pengetahuan yang
benar dan tepat yang dinamakan pengetahuan fenomenal.
Di lain pihak, putusan atas perasaan terbentuk dengan merujuk
objek yang dipahami kepada sebuah bentuk yang tidak ada dalam intelek, tetapi
dalam kekuatan afektif dari kehendak (emosi). Bentuk yang muncul dalam sentimen
adalah penengah antara yang teoritis dan yang praktis. Putusan atas perasaan
semacam ini adalah mungkin karena subjek (ego), dengan merefleksikan data yang
ditangkap, memutuskan data-data tersebut sebagai yang disesuaikan dengan kegiatan-kegiatan
merasa (sentimental activities) si subjek. Kant menyebut kegiatan ini
sebagai putusan hasil refleksi (reflecting judgment). Perlu dicatat,
putusan sebagai hasil refleksi ini memiliki asal muasal di luar bentuk a priori
intelek. Akibatnya, putusan semacam ini tidak memberikan kita pengetahuan yang
benar dan tepat, tapi hanya memanifestasikan kemendesakkan (exigency)
ego.
Dalam Kritik atas Putusan (Critique of Judgment),
Kant menyajikan hanya dua putusan sebagai hasil refleksi (reflecting judgment)—yang
timbul dari finalitas alam (finality of nature) yang
disebutnya dengan nama estetika.
1.
Putusan teleologis
Kegiatan kreatif alam mengembangkan dirinya dalam serangkaian
fenomena yang berubungan satu sama lain secara mekanis, yaitu melalui hukum
kausalitas. Merefleksikan suksesi mekanistis ini seseorang segera menyadari
bahwa unsur-unsur individual dari rangkaian fenomena itu dikoordinasikan secara
harmonis menuju sebuah akhir yang sama, seolah-olah masing-masing bagian
dikendalikan oleh sebuah Akal Absolute demi mengaktualisasikan tujuan akhir
tertentu yang telah ditentukan sebelumnya (finalitas). Finalitas semacam ini
dapat diamati terutama dalam organisme hidup, di mana mudah untuk memperhatikan
bagaimana bagian-bagian berkembang ke arah menghasilkan organisme hidup yang
sempurna.
Kant memperluas pandangan ini meliputi seluruh alam dan melihatnya
berpuncak pada lahirnya spiritualitas, yang akan dicapai melalui budaya dan
peradaban, kemampuan teknis dan pendidikan moral. Pandangan teleologis ini,
dalam mana kita menganggap dunia pengada-pengada dan peristiwa sebagai yang dibaktikan
(ordained) bagi sebuah tujuan akhir dan pada akhirnya bagi kemendesakan
(exigency) spiritualitas kita, menemukan alasannya dalam perasaan dan
bukan dalam intelek. Seperti terdapat dalam Critique of Practical Reason,
solusinya ditemukan dalam kemendesakan dari yang tidak berkondisi, dan bukan
dalam pengetahuan yang tidak berkondisi.
2.
Putusan estetis
Putusan estetis, melaluinya kita menilai sebuah objek sebagai yang
menyenangkan, dimulai dengan kita memisahkan objek dari setiap konsep khusus (determined
concept) dan dari setiap kepentingan praktis, dan dengan mereferensi objek
yang telah dibebaskan itu kepada subjek. Subyek kemudian menemukan kepuasan
fakultas rohaninya dalam obyek yang dirujuk kepadanya dan menyatakan
kepuasannya ini dalam putusan estetis: “Lahan ini indah!” Hal yang kurang
dalam putusan estetis adalah (1) semua putusan pengetahuan (misalnya: “Lahan ini
luas”), dan (2) semua putusan dari kepentingan (misalnya: “Lahan ini berguna
untuk penggembalaan ternak”).
Objek dari sebuah putusan estetis adalah adalah “bentuk” dari
objek yang ditentukan dalam dirinya sendiri (considered in itself)
(misalnya: komposisi warna dalam sebuah lanskap) dan diarahkan kepada subjek.
Subyek dengan demikian menemukan kepuasan bagi fakultas rohaninya. Dalam
menyadari kenikmatan estetis, subjek (ego) merasa dirinya bebas
dari kepentingan teoritis atau praktis apapun; ia merasa dirinya sebagai satu,
seorang pribadi, subjek dari kegiatan rohani. Demikianlah kita
berada dalam ranah yang tidak berkondisi. Perlu dicatat bahwa putusan estetis
bukanlah pengetahuan sejati. Ini adalah urgensi atau kemendesakan dari subjek
dalam mengekspresikan perasaan estetisnya dalam cara sebagaimana dijelaskan.
Kesimpulan
Bagi Kant, satu-satunya pengetahuan yang benar dan tepat adalah
pengetahuan ilmiah, yaitu pengetahuan yang diperoleh melalui kategori-kategori
intelek, yang tugasnya adalah mengatur data-data pengindraan yang masuk sesuai
suksesi mekanik mereka. Ideal realitas (noumenon), Allah, keabadian
jiwa, dan dunia eksternal bukanlah objek dari intuisi yang masuk akal (sensible
intuiton), dan karenanya bukan obyek dari pengetahuan yang adalah lazim
bagi intelek.
Tanpa ragu, bagi Kant, keberadaan dari yang melampaui pengindraan,
Allah dan keabadian jiwa sungguh-sungguh pasti; itu adalah determinasi
konseptual (conceptual determination) mereka yang adalah mustahil.
Untuk alasan ini, Kant dipaksa menunjukkan keberadaan mereka sebagai yang dipostulatkan
oleh rasio praktis dan sebagai kemendesakan dari fakultas yang
beroperasi di ranah finalitas dan estetika.
Tetapi begitu pemahaman yang benar dan tepat dari keberadaan Allah
dan jiwa ditolak, siapa yang dapat meyakinkan kita bahwa postulat-postulat dan
kemendesakan-kemendesakan yang dibicarakan Kant dengan begitu fasih
bukanlah semata-mata ilusi si subjek? Bukankah akan tampak lebih logis untuk
menyajikan subjek, jiwa manusia, sebagai pencipta dan pengatur mutlak, dan
kemudian menurunkan seluruh realitas dari manusia melalui deduksi logis?
Inilah kecenderungan yang perlahan-lahan menyertai seluruh
Kritisisme Kantian, dan untuk alasan ini tanpa keraguan apapun Kant adalah
Bapak Idealisme modern.